Institut Teknologi Bandung (ITB)
memiliki dinamika sejarah yang panjang sebagai institusi pendidikan tertinggi
tertua di Indonesia. Perjalanan sejarahnya dimulai tatkala Technische Hoogeschool te Bandoeng (TH) diresmikan pada tanggal 3
Juli 1920, yang kemudian diubah namanya menjadi Institute Of Tropical
Sciences-Kogyo Daigaku dalam rentang 1942-1945. Kemudian di awal kemerdekaan,
Kogyo Daigaku berubah menjadi Sekolah Tinggi Teknik (1945-1946), dan pada saat
NICA ingin kembali menduduki Indonesia, STT berubah menjadi Faculteit van
Technische Wetenschap, Universiteit van Indonesie, yang berlangsung hingga
tahun 1959. Akhirnya, sejak tahun 1959, lahirlah Institut Teknologi Bandung,
yang masih berdiri kokoh hingga kini.
Sekilas Pendidikan Zaman VOC
Jika di negeri Belanda pada abad XVII dan XVIII pendidikan dan pengajaran dilaksanakan oleh lembaga-lembaga keagamaan, di Hindia Belanda tidak demikian. Vereenigde Oost-Indische COmpagnie (VOC) tidak menghendaki lembaga-lembaga keagamaan memiliki wewenang besar, meski demikian, penyelenggaraan pendidikan dan pengajaran masih dilakukan oleh kalangan agama, namun mereka adalah sekaligus pegawai-pegawai yang bekerja untuk VOC (Moestoko, dkk: 1979:41).
Jika di negeri Belanda pada abad XVII dan XVIII pendidikan dan pengajaran dilaksanakan oleh lembaga-lembaga keagamaan, di Hindia Belanda tidak demikian. Vereenigde Oost-Indische COmpagnie (VOC) tidak menghendaki lembaga-lembaga keagamaan memiliki wewenang besar, meski demikian, penyelenggaraan pendidikan dan pengajaran masih dilakukan oleh kalangan agama, namun mereka adalah sekaligus pegawai-pegawai yang bekerja untuk VOC (Moestoko, dkk: 1979:41).
Tujuan dilaksanakannya pendidikan
dan pengajaran waktu itu ialah untuk memberikan pengetahuan umum maupun hal-hal
khusus tentang Indonesia, yang diperuntukkan bagi kalangan Belanda. Adapun
untuk kalangan pribumi, diberikan pendidikan sekadarnya untuk tujuan
tenaga-tenaga pembantu yang amat murah.
Sekolah yang pertama kali didirikan
ialah pada tahun 1617 di Batavia, dan hingga tahun 1979 jumlah murid yang ada
(di luar kepulauan Maluku) berjumlah 1657 murid yang tersebar pada tujuh daerah
jajahan yaitu Batavia, Pantai utara Pulau Jawa, Makasar, Timor, Pantai Barat
Sumatera, Cirebon, dan Banten.
Sekolah yang ada pada saat itu
adalah pendidikan dasar seperti Batavische School (1622) dan Burgerschool
(1630) yang bertujuan mendidik budi pekerti. Selain itu, sempat pula didirikan
Sekolah Latin yang mengajarkan bahasa latin dengan sistem persekolahan dengan
cara in-de-kost (numpang tinggal) di rumah seorang pendeta. Sekolah latin hanya
bertahan hingga pada tahun 1656. Sekolah lain yang didirikan ialah Seminarium
Theologium untuk mendidik calon-calon pendeta, yang hanya bertahan hanya
sepuluh tahun sejak didirikan pada tahun 1745 atas prakarsa Gubernur Jenderal
Van Imhoff. Ia pula yang memprakarsai berdirinya Academie der Marine (Akademi
Pelayaran) yang juga pada akhirnya ditutup pada tahun 1755. Ada pula Sekolah
Cina yang diperuntukkan bagi kalangan keturunan Cina yang bertahan selama 7
tahun sejak 1737 disebabkan terjadinya de Chineezenmoord (pembantaian Cina) di
Tahun 1740.
Dapatlah dilihat bahwa pendidikan di
zaman VOC berkuasa masih amat sedikit, cenderung hanya bersifat pendidikan
dasar, belum diatur dengan manajemen yang baik, dan lebih diperuntukkan bagi
orang-orang Belanda. Maka jangankan berbicara mengenai keberadaan pendidikan
tinggi, corak pendidikan yang lebih mendasar pun dapat dikatakan belum
tersentuh.
Perkembangan Kondisi Politik
Pada tahun 1799, VOC mengalami kebangkrutan. Hindia-Belanda kemudian diambil alih oleh pemerintah Belanda. Pada saat yang sama, di Eropa sedang gencar-gencarnya semangat Aufklarung mempengaruhi masyarakat, yang sebetulnya sudah dimulai sejak abad XVII. Semangat Aufklarung sangat percaya kepada kekuatan nalar dan akal sehat, dan sangat menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Penjunjungan itu terkait dengan hak-hak asasi manusia yang tidak boleh dimarginalisasi.
Pada tahun 1799, VOC mengalami kebangkrutan. Hindia-Belanda kemudian diambil alih oleh pemerintah Belanda. Pada saat yang sama, di Eropa sedang gencar-gencarnya semangat Aufklarung mempengaruhi masyarakat, yang sebetulnya sudah dimulai sejak abad XVII. Semangat Aufklarung sangat percaya kepada kekuatan nalar dan akal sehat, dan sangat menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Penjunjungan itu terkait dengan hak-hak asasi manusia yang tidak boleh dimarginalisasi.
Efek semangat Aufklarung secara
fundamental mengubah pola pandang tentang penyelenggaraan pendidikan yang
sebelumnya diselenggarakan oleh lembaga-lembaga keagamaan, yang kemudian
berubah menjadi negara. Dalam hal ini mulai terjadi pemisahan sigfinikan antara
peran agama dan negara. Negara berkewajiban untuk bertanggung jawab atas
pendidikan rakyat, yang pada gilirannya dimanifestasikan dalam bentuk pendirian
sekolah-sekolah negeri.
Jon Willem Daendels, adalah tokoh
Gubernur Jenderal Hindia-Belanda (1807-1811) yang menganut paham Aufklarung.
Namun demikian, karena ia ditugaskan untuk mempertahankan daerah jajahan dari
kemungkinan serangan Inggris, maka ia tidak terlalu fokus untuk mengurusi
pendidikan. Memang benar, bahwa ia sempat pula mendirikan sekolah di Meester
Cornelis (Jatinegara), Batavia, dan di Semarang. tetapi sekolah tersebut adalah
sekolah artileri dan sekolah pelayaran. Sekalipun demikian, Daendels memerintahkan
kepada Bupati di Timur Laut Jawa untuk mengajarkan pendidikan dasar untuk
penduduk pribumi.
Setelah Belanda mengambil alih
kekuasaan kembali dari tangan Inggris di tahun 1816, barulah pendidikan mulai
mendapat perhatian. Akan tetapi, pendidikan dasar yang diselenggarakan oleh
pemerintah untuk pribumi baru mulai didirikan dan berkembang pada tahun 1848
atas keputusan Raja Belanda setelah didiskusikan berlarut-larut. Secara umum,
sekolah dasar tersebut lebih diperuntukkan untuk mendidik calon-calon pegawai
negeri untuk dipekerjakan membantu pemerintah.
Aufklarung, semakin berkembang
hingga memunculkan suatu paham liberalisme yang salah satunya memiliki
pandangan bahwa hak-hak azasi pada setiap manusia harus diterapkan, yang
menyangkut kebebasan beragama, berserikat, berkumpul, mengeluarkan pendapat,
hingga menyangkut hak memperoleh pendidikan. Liberalisme di negeri Belanda
semakin memasuki ranah politik praktis dengan terbentuknya sebuah partai
liberal. Ketika partai ini berhasil memegang tampuk kekuasaan, beberapa ide
pokok liberalisme berhasil diwujudkan. Kepemimpinan perdana menteri Thorbecke
yang terpilih hingga tiga kali (1849-1853, 1862-1866, 1871-1872) sedikit banyak
telah mempengaruhi kebijakan yang diterapkan di wilayah jajahan Hindia-Belanda.
Pada tahun 1855, terdapat instruksi
kepada Gubernur Jenderal yang diminta untuk mengambil tindakan agar sedapat
mungkin dapat memperbaiki dan memperluas pendidikan bagi kalangan Eropa dan
pribumi, juga untuk meningkatkan hal ihwal kesenian dan ilmu pengetahuan.
Terhitung sejak pertengahan abad XIX
itulah, pendidikan di Hindia-Belanda semakin marak. Kendati begitu, pendidikan
yang dilaksanakan sampai dengan jelang memasuki abad XX masih distratifikasi
berdasarkan kelas pembagian penduduk. Menurut hukum pada tahun 1848, pembagian
golongan yang berlaku di Hindia Belanda meliputi golongan Eropa, golongan yang
dipersamakan dengan Eropa, golongan Bumiputera, dan golongan yang dipersamakan
dengan bumiputera. Adapun untuk kalangan bumiputera sendiri, masih dibagi lagi
menjadi golongan bangsawan (priyayi), golongan pemimpin agama (ulama), dan
golongan rakyat biasa.
Secara ekonomi, pada dasawarsa awal
abad XIX, Belanda membutuhkan banyak dana untuk memulihkan kondisi ekonomi
negara tersebut akibat peperangan di Eropa yang juga melibatkan Belanda. Untuk
memenuhi tujuan tersebut, Gubernut Jenderal Van Den Bosch (1829-1834)
menciptakan cultuurstelsel, suatu sistem kultivasi yang mewajibkan rakyat
menanam seperlima dari lahannya dengan tumbuhan yang dikehendaki pihak Belanda
agar laku dijual di pasaran Eropa. Sementara, pembangunan ekonomi di
Hindia-Belana tidak akan mampu berkembang jika tidak ditopang oleh tenaga kerja
yang direkrut dari kalangan bumiputera sendiri, yang pada akhirnya
diperuntukkan untuk menjadi tenaga administrasi dan pekerja bawahan.
Hal ini merupakan sebuah kejanggalan
dari semangat liberalisme yang didengungkan di negeri Belanda. Terdapat semacam
kontradiksi antara paham yang dianut dan diterapkan di Belanda dengan penerapan
di Hindia Belanda. Salah satu contoh efek yang ekstrim ialah peristiwa
meninggalnya puluhan ribu warga di sekitar pesisir utara Jawa Tengah akibat
kelaparan ketika masa cuulturstelsel diberlakukan. Padahal, ketika itu De
Groote Postweg yang dibangun pada masa Daendels tidak jauh melewati daerah
tersebut.
Sistem cuultuurstelsel dengan cepat
membawa keuntungan bagi negeri Belanda, dan di tahun 1840, revolusi industri
dimulai disana dibawah aturan Raja Willem II. Dua tahun kemudian, berdiri Delft
Academy with the sole purpose of educating those who would serve in the
colonies to which for financial reasons almost nobody from the “Dutch East
Indies” enrolled.
Sejak itulah, Belanda mengalami
suatu perkembangan yang luar biasa. Paham kapitalisme laissez-faire yang
menghendaki kebebasan usaha di sektor swasta tanpa campur tangan yang
signifikan dari pihak pemerintah, pada gilirannya adalah kalangan yang sangat
mendukung liberalisme, khususnya dalam ranah ekonomi. Dan di akhir abad XIX
jelang diutarakannya politik etis, sistem ekonomi liberal sudah mulai tampak
jelas.
Pada tahun 1917 timbul di kalangan
beberapa pengusaha swasta Belanda yang beraliran liberal, terutama dari
kalangan perkebunan, cita-cita untuk memberikan “hadiah” dalam bentuk suatu
sekolah tinggi rekayasa kepada pribumi Hindia Belanda. Maka pada tanggal 1 Mei
1919, “hadiah” tersebut diserahkan kepada Gubernur Jenderal Von Limburg Stirum
oleh suatu komisi yang diketuai oleh Dr. J. W Ijzerman dalam suatu rapat yang
diadakan di Istana Weltevreden. Kemudian pada tanggal 3 Juli 1920, di tempat
yang sekarang beralamat di Jalan Ganesha 10 Bandung, tepatnya di Aula Timur
yang pada saat itu belum sepenuhnya siap, dibukalah Technische Hoogeschool
secara resmi oleh Gubernur Jenderal Von Limburg Stirum. Kemudian subkomisi
pendidikan yang terdiri dari Prof. Dr. S. Hoogerwerff sebagai ketua dan Ir. R.
A. van Sandick dan Prof. Ir. C.W. Weijs.
Pada masa itu sebenarnya berangkat
dari keinginan pemerintah Hindia Belanda dalam mencetak tenaga ahli murah
(relatif dibandingkan dengan jika harus didatangkan dari Negeri Belanda) untuk
membangun lingkungan yang nyaman (fasilitas tersedia) dan sehat (mencegah
penyakit menular) bagi masyarakat Belanda (dan Eropa) untuk tinggal di
koloninya ini. Dari niat pendiriannya, sebenarnya TH didirikan atas
pertimbangan pragmatis, yaitu karena kebutuhan eksternal. Hal ini berbeda
dengan pendirian beberapa lembaga pendidikan seperti “Perguruan Taman Siswa”
oleh Ki Hajar Dewantara atau Pesantren “Gontor” oleh Trio Kyai Sahal, Zainuddin
Fanani, dan Imam Zarkasyi, yang didasarkan pada idealisme atau sebuah
“cita-cita luhur”, yaitu mendidik dan membina manusia.
Technische Hogeschool te Bandung,
Tahun 1920-1940
TH Lahir pada tahun 1920 dalam lingkungan yang sangat kondusif bagi pengembangan ilmu pengetahuan, kesempatan ini ditunjang oleh kebijakan (politik) Pemerintah Hindia Belanda untuk menyelesaikan masalah Hindia-Belanda dengan kemampuan dalam negeri sendiri.
TH Lahir pada tahun 1920 dalam lingkungan yang sangat kondusif bagi pengembangan ilmu pengetahuan, kesempatan ini ditunjang oleh kebijakan (politik) Pemerintah Hindia Belanda untuk menyelesaikan masalah Hindia-Belanda dengan kemampuan dalam negeri sendiri.
Technische Hogeschool Bandung, tahun
1940-1942
Pada umumnya sebagai institusi pendidikan, TH melanjutkan tradisinya yang telah mapan selama dua puluh tahun sebelumnya, yaitu kegiatan pendidikan rekayasa dan pengembangan ilmu pengetahuan.
Pada umumnya sebagai institusi pendidikan, TH melanjutkan tradisinya yang telah mapan selama dua puluh tahun sebelumnya, yaitu kegiatan pendidikan rekayasa dan pengembangan ilmu pengetahuan.
Institute of Tropical Science-Kogyo
Daigaku, Tahun 1942-1945
Tanggal 9 Maret 1942 Angkatan Perang Kerajaan Belanda (Koninklijke Indische Leger) menyerah kepada balatentara Dai Nippon di Kalijati, Jawa Barat. Laboratorium TH dibuka dengan nama Institute Tropical Science. Pada tanggal 1 April 1944, Pemerintah Militer Jepang membuka di tempat yang sama institusi pendidikan yang disebutnya sebagai Tokyo Daigaku yang terdiri dari 2 tingkatan, yaitu Daigakubu dan Senmonbu (Sekolah Tinggi Teknik dan Sekolah Menengah Teknik).
Tanggal 9 Maret 1942 Angkatan Perang Kerajaan Belanda (Koninklijke Indische Leger) menyerah kepada balatentara Dai Nippon di Kalijati, Jawa Barat. Laboratorium TH dibuka dengan nama Institute Tropical Science. Pada tanggal 1 April 1944, Pemerintah Militer Jepang membuka di tempat yang sama institusi pendidikan yang disebutnya sebagai Tokyo Daigaku yang terdiri dari 2 tingkatan, yaitu Daigakubu dan Senmonbu (Sekolah Tinggi Teknik dan Sekolah Menengah Teknik).
Sekolah Tinggi Teknik, Tahun
1945-1946
Angkatan perang Dai Nippon menyerah kepada Tentara Sekutu pada tanggal 15 Agustus 1945. Bangsa Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945. Kogyo Daigaku berubah menjadi sekolah tinggi teknik, disingkat STT.
Angkatan perang Dai Nippon menyerah kepada Tentara Sekutu pada tanggal 15 Agustus 1945. Bangsa Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945. Kogyo Daigaku berubah menjadi sekolah tinggi teknik, disingkat STT.
Faculteit van Technische Wetenschap,
Universiteit van Indonesia, Tahun 1946-1959
Sementara Pemerintah Republik Indonesia ada dalam pengungsian di Yogyakarta, Pemerintah Pendudkan Belanda, NICA (The Netherlands Indies Civil Administration) di Jakarta melanjutkan rencana mereka yang tertunda karena PD II untuk mendirikan suatu Universiteit di Indonesia. Maka NICA mendirikan Universiteit van Indonesie, di dalam sistem Universiteit tersebut dibuka Faculteit van Technische Wetenschap di Kompleks TH di Bandung, yaitu sebuah fakultas pendidikan rekayasa baru yang diketuai Prof. Dr. K. Posthumu.
Sementara Pemerintah Republik Indonesia ada dalam pengungsian di Yogyakarta, Pemerintah Pendudkan Belanda, NICA (The Netherlands Indies Civil Administration) di Jakarta melanjutkan rencana mereka yang tertunda karena PD II untuk mendirikan suatu Universiteit di Indonesia. Maka NICA mendirikan Universiteit van Indonesie, di dalam sistem Universiteit tersebut dibuka Faculteit van Technische Wetenschap di Kompleks TH di Bandung, yaitu sebuah fakultas pendidikan rekayasa baru yang diketuai Prof. Dr. K. Posthumu.
Sumber : Official Web KM-ITB (http://km.itb.ac.id/site/?p=113)
No comments:
Post a Comment