Sunday, May 6, 2012

Perkembangan ITB dalam Tatanan Pendidikan

     Institut Teknologi Bandung (ITB) memiliki dinamika sejarah yang panjang sebagai institusi pendidikan tertinggi tertua di Indonesia. Perjalanan sejarahnya dimulai tatkala Technische Hoogeschool te Bandoeng (TH) diresmikan pada tanggal 3 Juli 1920, yang kemudian diubah namanya menjadi Institute Of Tropical Sciences-Kogyo Daigaku dalam rentang 1942-1945. Kemudian di awal kemerdekaan, Kogyo Daigaku berubah menjadi Sekolah Tinggi Teknik (1945-1946), dan pada saat NICA ingin kembali menduduki Indonesia, STT berubah menjadi Faculteit van Technische Wetenschap, Universiteit van Indonesie, yang berlangsung hingga tahun 1959. Akhirnya, sejak tahun 1959, lahirlah Institut Teknologi Bandung, yang masih berdiri kokoh hingga kini.

Sekilas Pendidikan Zaman VOC
      Jika di negeri Belanda pada abad XVII dan XVIII pendidikan dan pengajaran dilaksanakan oleh lembaga-lembaga keagamaan, di Hindia Belanda tidak demikian. Vereenigde Oost-Indische COmpagnie (VOC) tidak menghendaki lembaga-lembaga keagamaan memiliki wewenang besar, meski demikian, penyelenggaraan pendidikan dan pengajaran masih dilakukan oleh kalangan agama, namun mereka adalah sekaligus pegawai-pegawai yang bekerja untuk VOC (Moestoko, dkk: 1979:41).
   Tujuan dilaksanakannya pendidikan dan pengajaran waktu itu ialah untuk memberikan pengetahuan umum maupun hal-hal khusus tentang Indonesia, yang diperuntukkan bagi kalangan Belanda. Adapun untuk kalangan pribumi, diberikan pendidikan sekadarnya untuk tujuan tenaga-tenaga pembantu yang amat murah.
     Sekolah yang pertama kali didirikan ialah pada tahun 1617 di Batavia, dan hingga tahun 1979 jumlah murid yang ada (di luar kepulauan Maluku) berjumlah 1657 murid yang tersebar pada tujuh daerah jajahan yaitu Batavia, Pantai utara Pulau Jawa, Makasar, Timor, Pantai Barat Sumatera, Cirebon, dan Banten.
     Sekolah yang ada pada saat itu adalah pendidikan dasar seperti Batavische School (1622) dan Burgerschool (1630) yang bertujuan mendidik budi pekerti. Selain itu, sempat pula didirikan Sekolah Latin yang mengajarkan bahasa latin dengan sistem persekolahan dengan cara in-de-kost (numpang tinggal) di rumah seorang pendeta. Sekolah latin hanya bertahan hingga pada tahun 1656. Sekolah lain yang didirikan ialah Seminarium Theologium untuk mendidik calon-calon pendeta, yang hanya bertahan hanya sepuluh tahun sejak didirikan pada tahun 1745 atas prakarsa Gubernur Jenderal Van Imhoff. Ia pula yang memprakarsai berdirinya Academie der Marine (Akademi Pelayaran) yang juga pada akhirnya ditutup pada tahun 1755. Ada pula Sekolah Cina yang diperuntukkan bagi kalangan keturunan Cina yang bertahan selama 7 tahun sejak 1737 disebabkan terjadinya de Chineezenmoord (pembantaian Cina) di Tahun 1740.
    Dapatlah dilihat bahwa pendidikan di zaman VOC berkuasa masih amat sedikit, cenderung hanya bersifat pendidikan dasar, belum diatur dengan manajemen yang baik, dan lebih diperuntukkan bagi orang-orang Belanda. Maka jangankan berbicara mengenai keberadaan pendidikan tinggi, corak pendidikan yang lebih mendasar pun dapat dikatakan belum tersentuh.


Perkembangan Kondisi Politik
      Pada tahun 1799, VOC mengalami kebangkrutan. Hindia-Belanda kemudian diambil alih oleh pemerintah Belanda. Pada saat yang sama, di Eropa sedang gencar-gencarnya semangat Aufklarung mempengaruhi masyarakat, yang sebetulnya sudah dimulai sejak abad XVII. Semangat Aufklarung sangat percaya kepada kekuatan nalar dan akal sehat, dan sangat menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Penjunjungan itu terkait dengan hak-hak asasi manusia yang tidak boleh dimarginalisasi.
  Efek semangat Aufklarung secara fundamental mengubah pola pandang tentang penyelenggaraan pendidikan yang sebelumnya diselenggarakan oleh lembaga-lembaga keagamaan, yang kemudian berubah menjadi negara. Dalam hal ini mulai terjadi pemisahan sigfinikan antara peran agama dan negara. Negara berkewajiban untuk bertanggung jawab atas pendidikan rakyat, yang pada gilirannya dimanifestasikan dalam bentuk pendirian sekolah-sekolah negeri.
    Jon Willem Daendels, adalah tokoh Gubernur Jenderal Hindia-Belanda (1807-1811) yang menganut paham Aufklarung. Namun demikian, karena ia ditugaskan untuk mempertahankan daerah jajahan dari kemungkinan serangan Inggris, maka ia tidak terlalu fokus untuk mengurusi pendidikan. Memang benar, bahwa ia sempat pula mendirikan sekolah di Meester Cornelis (Jatinegara), Batavia, dan di Semarang. tetapi sekolah tersebut adalah sekolah artileri dan sekolah pelayaran. Sekalipun demikian, Daendels memerintahkan kepada Bupati di Timur Laut Jawa untuk mengajarkan pendidikan dasar untuk penduduk pribumi.
    Setelah Belanda mengambil alih kekuasaan kembali dari tangan Inggris di tahun 1816, barulah pendidikan mulai mendapat perhatian. Akan tetapi, pendidikan dasar yang diselenggarakan oleh pemerintah untuk pribumi baru mulai didirikan dan berkembang pada tahun 1848 atas keputusan Raja Belanda setelah didiskusikan berlarut-larut. Secara umum, sekolah dasar tersebut lebih diperuntukkan untuk mendidik calon-calon pegawai negeri untuk dipekerjakan membantu pemerintah.
    Aufklarung, semakin berkembang hingga memunculkan suatu paham liberalisme yang salah satunya memiliki pandangan bahwa hak-hak azasi pada setiap manusia harus diterapkan, yang menyangkut kebebasan beragama, berserikat, berkumpul, mengeluarkan pendapat, hingga menyangkut hak memperoleh pendidikan. Liberalisme di negeri Belanda semakin memasuki ranah politik praktis dengan terbentuknya sebuah partai liberal. Ketika partai ini berhasil memegang tampuk kekuasaan, beberapa ide pokok liberalisme berhasil diwujudkan. Kepemimpinan perdana menteri Thorbecke yang terpilih hingga tiga kali (1849-1853, 1862-1866, 1871-1872) sedikit banyak telah mempengaruhi kebijakan yang diterapkan di wilayah jajahan Hindia-Belanda.
     Pada tahun 1855, terdapat instruksi kepada Gubernur Jenderal yang diminta untuk mengambil tindakan agar sedapat mungkin dapat memperbaiki dan memperluas pendidikan bagi kalangan Eropa dan pribumi, juga untuk meningkatkan hal ihwal kesenian dan ilmu pengetahuan.
    Terhitung sejak pertengahan abad XIX itulah, pendidikan di Hindia-Belanda semakin marak. Kendati begitu, pendidikan yang dilaksanakan sampai dengan jelang memasuki abad XX masih distratifikasi berdasarkan kelas pembagian penduduk. Menurut hukum pada tahun 1848, pembagian golongan yang berlaku di Hindia Belanda meliputi golongan Eropa, golongan yang dipersamakan dengan Eropa, golongan Bumiputera, dan golongan yang dipersamakan dengan bumiputera. Adapun untuk kalangan bumiputera sendiri, masih dibagi lagi menjadi golongan bangsawan (priyayi), golongan pemimpin agama (ulama), dan golongan rakyat biasa.
     Secara ekonomi, pada dasawarsa awal abad XIX, Belanda membutuhkan banyak dana untuk memulihkan kondisi ekonomi negara tersebut akibat peperangan di Eropa yang juga melibatkan Belanda. Untuk memenuhi tujuan tersebut, Gubernut Jenderal Van Den Bosch (1829-1834) menciptakan cultuurstelsel, suatu sistem kultivasi yang mewajibkan rakyat menanam seperlima dari lahannya dengan tumbuhan yang dikehendaki pihak Belanda agar laku dijual di pasaran Eropa. Sementara, pembangunan ekonomi di Hindia-Belana tidak akan mampu berkembang jika tidak ditopang oleh tenaga kerja yang direkrut dari kalangan bumiputera sendiri, yang pada akhirnya diperuntukkan untuk menjadi tenaga administrasi dan pekerja bawahan.
     Hal ini merupakan sebuah kejanggalan dari semangat liberalisme yang didengungkan di negeri Belanda. Terdapat semacam kontradiksi antara paham yang dianut dan diterapkan di Belanda dengan penerapan di Hindia Belanda. Salah satu contoh efek yang ekstrim ialah peristiwa meninggalnya puluhan ribu warga di sekitar pesisir utara Jawa Tengah akibat kelaparan ketika masa cuulturstelsel diberlakukan. Padahal, ketika itu De Groote Postweg yang dibangun pada masa Daendels tidak jauh melewati daerah tersebut.
     Sistem cuultuurstelsel dengan cepat membawa keuntungan bagi negeri Belanda, dan di tahun 1840, revolusi industri dimulai disana dibawah aturan Raja Willem II. Dua tahun kemudian, berdiri Delft Academy with the sole purpose of educating those who would serve in the colonies to which for financial reasons almost nobody from the “Dutch East Indies” enrolled.
Sejak itulah, Belanda mengalami suatu perkembangan yang luar biasa. Paham kapitalisme laissez-faire yang menghendaki kebebasan usaha di sektor swasta tanpa campur tangan yang signifikan dari pihak pemerintah, pada gilirannya adalah kalangan yang sangat mendukung liberalisme, khususnya dalam ranah ekonomi. Dan di akhir abad XIX jelang diutarakannya politik etis, sistem ekonomi liberal sudah mulai tampak jelas.


     Pada tahun 1917 timbul di kalangan beberapa pengusaha swasta Belanda yang beraliran liberal, terutama dari kalangan perkebunan, cita-cita untuk memberikan “hadiah” dalam bentuk suatu sekolah tinggi rekayasa kepada pribumi Hindia Belanda. Maka pada tanggal 1 Mei 1919, “hadiah” tersebut diserahkan kepada Gubernur Jenderal Von Limburg Stirum oleh suatu komisi yang diketuai oleh Dr. J. W Ijzerman dalam suatu rapat yang diadakan di Istana Weltevreden. Kemudian pada tanggal 3 Juli 1920, di tempat yang sekarang beralamat di Jalan Ganesha 10 Bandung, tepatnya di Aula Timur yang pada saat itu belum sepenuhnya siap, dibukalah Technische Hoogeschool secara resmi oleh Gubernur Jenderal Von Limburg Stirum. Kemudian subkomisi pendidikan yang terdiri dari Prof. Dr. S. Hoogerwerff sebagai ketua dan Ir. R. A. van Sandick dan Prof. Ir. C.W. Weijs.
    Pada masa itu sebenarnya berangkat dari keinginan pemerintah Hindia Belanda dalam mencetak tenaga ahli murah (relatif dibandingkan dengan jika harus didatangkan dari Negeri Belanda) untuk membangun lingkungan yang nyaman (fasilitas tersedia) dan sehat (mencegah penyakit menular) bagi masyarakat Belanda (dan Eropa) untuk tinggal di koloninya ini. Dari niat pendiriannya, sebenarnya TH didirikan atas pertimbangan pragmatis, yaitu karena kebutuhan eksternal. Hal ini berbeda dengan pendirian beberapa lembaga pendidikan seperti “Perguruan Taman Siswa” oleh Ki Hajar Dewantara atau Pesantren “Gontor” oleh Trio Kyai Sahal, Zainuddin Fanani, dan Imam Zarkasyi, yang didasarkan pada idealisme atau sebuah “cita-cita luhur”, yaitu mendidik dan membina manusia.

Technische Hogeschool te Bandung, Tahun 1920-1940
    TH Lahir pada tahun 1920 dalam lingkungan yang sangat kondusif bagi pengembangan ilmu pengetahuan, kesempatan ini ditunjang oleh kebijakan (politik) Pemerintah Hindia Belanda untuk menyelesaikan masalah Hindia-Belanda dengan kemampuan dalam negeri sendiri.

Technische Hogeschool Bandung, tahun 1940-1942
   Pada umumnya sebagai institusi pendidikan, TH melanjutkan tradisinya yang telah mapan selama dua puluh tahun sebelumnya, yaitu kegiatan pendidikan rekayasa dan pengembangan ilmu pengetahuan.

Institute of Tropical Science-Kogyo Daigaku, Tahun 1942-1945
   Tanggal 9 Maret 1942 Angkatan Perang Kerajaan Belanda (Koninklijke Indische Leger) menyerah kepada balatentara Dai Nippon di Kalijati, Jawa Barat. Laboratorium TH dibuka dengan nama Institute Tropical Science. Pada tanggal 1 April 1944, Pemerintah Militer Jepang membuka di tempat yang sama institusi pendidikan yang disebutnya sebagai Tokyo Daigaku yang terdiri dari 2 tingkatan, yaitu Daigakubu dan Senmonbu (Sekolah Tinggi Teknik dan Sekolah Menengah Teknik).

Sekolah Tinggi Teknik, Tahun 1945-1946
      Angkatan perang Dai Nippon menyerah kepada Tentara Sekutu pada tanggal 15 Agustus 1945. Bangsa Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945. Kogyo Daigaku berubah menjadi sekolah tinggi teknik, disingkat STT.
Faculteit van Technische Wetenschap, Universiteit van Indonesia, Tahun 1946-1959
Sementara Pemerintah Republik Indonesia ada dalam pengungsian di Yogyakarta, Pemerintah Pendudkan Belanda, NICA (The Netherlands Indies Civil Administration) di Jakarta melanjutkan rencana mereka yang tertunda karena PD II untuk mendirikan suatu Universiteit di Indonesia. Maka NICA mendirikan Universiteit van Indonesie, di dalam sistem Universiteit tersebut dibuka Faculteit van Technische Wetenschap di Kompleks TH di Bandung, yaitu sebuah fakultas pendidikan rekayasa baru yang diketuai Prof. Dr. K. Posthumu.



Sumber : Official Web KM-ITB (http://km.itb.ac.id/site/?p=113)

No comments:

Post a Comment

    • Popular
    • Categories
    • Archives